Mengenal Tuhan Sebagai Bapa yang Penuh Kasih dan Pengampunan
Ditulis Oleh: Josmin Simanjuntak
Admin di Jossimisi.com
Mengenal Tuhan Sebagai Bapa
Renungan panggilan kasih untuk kembali ke pelukan Bapa.
Ada banyak orang yang percaya kepada Tuhan, namun tidak semua benar-benar mengenal Dia sebagai Bapa. Sebagian hanya mengenal Tuhan sebagai sosok yang besar, jauh, dan menakutkan. Ada yang melihat-Nya hanya sebagai Hakim yang siap menghukum setiap kesalahan kecil. Tetapi Yesus datang untuk mengubah pandangan itu. Ia datang untuk memperkenalkan Allah yang bukan hanya Maha-kuasa, melainkan juga penuh kasih — Bapa yang dekat dan rindu dikenal oleh anak-anak-Nya.
Inilah inti dari iman Kristen: hubungan, bukan sekadar agama. Kekristenan bukanlah sistem ritual yang dingin, melainkan perjalanan kasih antara seorang Bapa dan anak-anak-Nya. Dari hubungan itulah lahir iman, pengampunan, dan pengharapan. Mari kita renungkan bersama: bagaimana sebenarnya mengenal Tuhan sebagai Bapa, dan mengapa hal ini begitu penting bagi perjalanan iman kita?
1. Tuhan Bukan Sekadar Allah yang Jauh, Ia Adalah Bapa yang Dekat
Bagi sebagian orang, Tuhan terasa seperti sosok yang terlalu jauh untuk dijangkau — terlalu tinggi untuk dimengerti, terlalu kudus untuk didekati. Namun Yesus datang dengan pesan revolusioner: Allah yang besar itu ingin dikenal secara pribadi.
“Bapa kami yang di sorga…” (Matius 6:9)
Kata “Bapa” di sini dalam bahasa Aram adalah Abba — sapaan penuh keintiman, seperti anak kecil yang memanggil “Papa” atau “Ayah.” Ini bukan panggilan formal, melainkan panggilan kasih dan kepercayaan. Yesus ingin menunjukkan bahwa Allah bukanlah sosok jauh yang hanya duduk di takhta-Nya, tetapi Pribadi yang ingin dekat, mendengar, dan memeluk.
Mazmur 56:9 berkata, “Engkau menyimpan air mataku dalam kirbat-Mu.” Artinya, bahkan setiap air mata yang kita jatuhkan diperhatikan oleh-Nya. Ia tahu isi hati kita, bahkan yang tidak pernah terucap. Tuhan yang kita sembah bukan hanya Allah yang Mahakuasa, tetapi juga Bapa yang lembut dan memahami hati anak-anak-Nya.
Contoh
Seorang anak kecil jatuh dari sepeda dan menangis. Ayahnya tidak hanya berkata, “Sudah, jangan nangis,” tapi berlari menghampiri, mengangkat anaknya, membersihkan lututnya, dan berkata, “Papa di sini.” Begitulah Bapa kita di surga. Ia tidak menonton dari jauh ketika kita jatuh, Ia datang dan memeluk kita.
2. Kasih Bapa yang Tidak Bersyarat
Dunia mengajarkan bahwa kasih harus dibalas dengan prestasi. Kita dicintai karena kita baik, pintar, atau sukses. Tapi kasih Bapa berbeda: Ia mengasihi tanpa syarat, tanpa batas, tanpa perhitungan timbal balik.
“Lihatlah, betapa besarnya kasih yang dikaruniakan Bapa kepada kita, sehingga kita disebut anak-anak Allah.” (1 Yohanes 3:1)
Kasih Bapa bukanlah hasil kebaikan kita, melainkan berasal dari hati-Nya sendiri. Bahkan sebelum kita mengenal Dia, Ia sudah lebih dulu mengasihi kita (Roma 5:8).
Perumpamaan tentang anak yang hilang (Lukas 15:11–32) menggambarkan kasih yang menakjubkan itu. Sang ayah tidak menunggu di dalam rumah, tetapi berlari menyambut anaknya yang kembali dalam keadaan kotor, lusuh, dan bau babi. Ia tidak menegur, tidak memperhitungkan masa lalu, tetapi langsung memeluk dan berkata: “Anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali; ia telah hilang dan didapat kembali.”
3. Bapa yang Mendidik, Bukan Menghukum
Ketika hidup terasa berat, sering kali kita berpikir Tuhan sedang menghukum kita. Tapi firman Tuhan menjelaskan dengan jelas:
“Karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak.” (Ibrani 12:6)
Didikan Tuhan bukanlah ekspresi kemarahan, tetapi bukti kasih. Seorang ayah yang membiarkan anaknya hidup tanpa arah bukanlah ayah yang baik. Bapa yang sejati justru menuntun, mengoreksi, dan membentuk karakter anak-anak-Nya supaya kuat dan dewasa.
Contoh
Seorang petani memotong cabang pohon anggur yang tampak sehat. Orang lain mungkin mengira ia merusak, tapi sang petani tahu — pemangkasan itu justru membuat pohon berbuah lebih banyak. Demikian juga Bapa kita. Kadang Ia memangkas kenyamanan kita supaya karakter kita menghasilkan buah rohani yang lebih lebat.
4. Bapa yang Selalu Menyediakan
Kecemasan adalah musuh besar iman. Banyak orang percaya kepada Tuhan, tapi hidup dalam ketakutan tentang masa depan. Namun Yesus menenangkan kita:
“Sebab Bapamu mengetahui apa yang kamu perlukan, sebelum kamu minta kepada-Nya.” (Matius 6:8)
Bapa tahu kebutuhan kita sebelum kita menyebutnya. Ia tahu kapan kita lapar, kapan kita lemah, kapan kita menangis dalam diam.
“Pandanglah burung-burung di langit: mereka tidak menabur dan tidak menuai... namun Bapamu yang di sorga memelihara mereka.” (Matius 6:26)
Jika burung-burung saja diperhatikan, apalagi kita yang ditebus dengan darah Kristus? Tuhan tidak lupa, tidak lalai, dan tidak pernah kehabisan cara untuk menolong anak-anak-Nya.
Contoh
Seorang anak kecil duduk di mobil bersama ayahnya saat hujan deras. Anak itu bertanya, “Ayah, kita tidak akan tersesat?” Sang ayah menjawab sambil tersenyum, “Selama kamu duduk di sini bersamaku, kamu aman.” Demikian juga dengan kita — badai boleh datang, tapi selama kita bersama Bapa, kita tetap aman.
5. Bapa yang Ingin Dikenal Secara Pribadi
Tuhan tidak hanya ingin disembah; Ia ingin dikenal. Banyak orang tahu tentang Tuhan, tapi sedikit yang benar-benar mengenal hati-Nya.
“Inilah hidup yang kekal itu, yaitu bahwa mereka mengenal Engkau, satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang telah Engkau utus.” (Yohanes 17:3)
Kata mengenal (Yunani: ginosko) bukan sekadar tahu secara intelektual, tapi mengenal melalui hubungan pribadi yang dalam — seperti seorang anak mengenal ayahnya.
Bapa ingin kita mendengar suara-Nya, bukan hanya mendengar tentang-Nya.
“Domba-domba-Ku mendengarkan suara-Ku, dan Aku mengenal mereka dan mereka mengikuti Aku.” (Yohanes 10:27)
6. Bapa yang Menyembuhkan Luka Batin
Mungkin ada sebagian orang sulit menerima Tuhan sebagai Bapa karena pengalaman buruk dengan figur ayah di dunia. Luka itu sering kali menodai cara kita memandang Allah. Namun firman Tuhan berkata:
“Bapa bagi anak yatim, pelindung bagi para janda, itulah Allah di tempat-Nya yang kudus.” (Mazmur 68:6)
Bapa di surga tidak seperti manusia. Ia tidak akan meninggalkan, tidak akan menyakiti, dan tidak akan mengabaikan. Ia adalah Bapa yang hadir, mendengar, dan menyembuhkan.
Contoh
Seorang pemuda yang kehilangan ayah sejak kecil berkata, “Aku tidak tahu seperti apa rasanya punya ayah.” Namun ketika ia belajar berdoa dan menyebut, “Abba, Bapa,” ia merasakan damai yang belum pernah ia kenal. Dalam pelukan kasih Allah, luka itu mulai sembuh.
7. Bapa yang Menanti Anak-Anak-Nya Pulang
Tidak ada dosa yang terlalu besar untuk kasih Bapa. Tidak peduli sejauh apa seseorang telah melangkah menjauh, pintu rumah Bapa selalu terbuka.
“Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu.” (Matius 11:28)
Ini adalah undangan kasih. Tuhan tidak berkata, “Datanglah jika kamu sudah bersih,” tetapi, “Datanglah sebagaimana adanya.” Ia lebih tertarik kepada hati yang mau kembali daripada kesempurnaan yang palsu.
8. Bapa yang Memberi Identitas Baru
Ketika kita menerima kasih Kristus, kita tidak lagi menjadi hamba, melainkan anak-anak Allah.
“Roh itu bersaksi bersama-sama dengan roh kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah.” (Roma 8:16)
Identitas ini mengubah segalanya. Dunia mungkin menilai kita dari masa lalu, pekerjaan, atau status sosial, tapi Bapa melihat kita sebagai anak yang dikasihi dan berharga.
9. Hidup Sebagai Anak Bapa
Mengenal Tuhan sebagai Bapa berarti hidup dalam rasa aman dan kepercayaan penuh. Anak yang tahu siapa bapanya tidak akan mudah panik ketika badai datang. Ia tahu siapa yang menuntun dan melindungi.
Hidup sebagai anak Bapa berarti:
- Tidak perlu bersaing untuk diterima.
- Tidak perlu takut gagal, karena kasih Bapa tidak bergantung pada hasil.
- Tidak perlu berpura-pura suci, karena Bapa menghargai kejujuran lebih dari kesempurnaan.
10. Panggilan untuk Kembali ke Pelukan Bapa
Setiap hari, Tuhan memanggil kita untuk lebih dekat dengan-Nya.
“Sebab kamu tidak menerima roh perbudakan yang membuat kamu menjadi takut lagi, tetapi kamu telah menerima Roh yang menjadikan kamu anak Allah. Oleh Roh itu kita berseru: ‘Ya Abba, ya Bapa!’” (Roma 8:15)
Kata Abba adalah jeritan kasih, panggilan paling jujur dari hati seorang anak yang tahu bahwa Bapanya akan selalu menjawab. Dan hari ini, Bapa menunggu panggilan itu dari kita.
Refleksi Untuk Kita
- Apakah kita mengenal Tuhan hanya sebagai Allah yang jauh, atau sebagai Bapa yang dekat?
- Apakah kita percaya bahwa kasih-Nya cukup, bahkan ketika kita gagal?
- Apakah kita masih hidup dalam ketakutan, atau sudah dalam rasa aman sebagai anak yang dikasihi?
Bapa di surga tidak menunggu kesempurnaan kita — Ia menunggu hati kita. Pulanglah hari ini ke pelukan-Nya. Karena di sanalah tempat kita yang sejati.